Dampak Kerusuhan Voli terhadap Mental Para Pemain. Insiden kerusuhan di semifinal Piala Ketum PP PBVSI 2025 pada 14 Desember malam lalu bukan cuma tinggalkan luka fisik, tapi juga bekas psikologis bagi para pemain yang berada di lapangan. Dorong-dorongan, teriakan kasar, dan botol terbang di tribun selama 18 menit membuat suasana GOR Sentul berubah jadi tegang luar biasa. Meski laga akhirnya selesai dengan skor 3-1 untuk Jakarta, dampak mentalnya masih terasa hingga menjelang final. Beberapa pemain mengaku sulit tidur, ada yang sampai nangis di ruang ganti, dan pelatih harus panggil psikolog olahraga darurat. PBVSI sendiri langsung libatkan tim psikologi untuk dampingi pemain sebelum final, mengakui bahwa trauma ringan ini bisa pengaruhi performa jika tak ditangani cepat. INFO SLOT
Trauma Langsung di Lapangan: Dampak Kerusuhan Voli terhadap Mental Para Pemain
Saat keributan meledak di set ketiga, banyak pemain langsung kaget dan takut. Setter Jakarta, Farhan Halim, yang dapat kartu merah, cerita: “Saya lihat botol terbang ke arah kami, langsung ingat kejadian sepak bola dulu. Jantung rasanya mau copot.” Libero Bandung, Doni Haryono, yang juga kena kartu merah, bilang ia sempat gemetar karena takut ada yang terluka serius. Pemain muda seperti Rivan Nurmulki (Jakarta) dan Dio Zulfikri (Bandung) akui mereka sampai menangis di ruang ganti usai laga—bukan karena kalah-menang, tapi karena takut keamanan diri dan keluarga di tribun. Pelatih Joel Banks (Jakarta) sebut tiga pemainnya sampai minta izin tak ikut sesi latihan ringan Senin pagi karena masih shock. Sementara pelatih Bandung, Samsul Jais, bilang dua pemainnya mengalami insomnia malam itu.
Efek Psikologis Jangka Pendek: Dampak Kerusuhan Voli terhadap Mental Para Pemain
Psikolog olahraga yang dampingi tim sebut gejala paling umum: peningkatan kecemasan, sulit konsentrasi, dan flashback saat latihan. Beberapa pemain jadi overthinking saat servis atau blok, takut keputusan wasit lagi picu reaksi negatif dari tribun. Farhan Halim, yang dilarang main final karena kartu merah, bilang ia merasa bersalah berat: “Saya takut tim, tapi malah bikin suasana tambah panas.” Ada juga pemain yang mulai takut dengar suara keras atau teriakan—reaksi post-traumatic ringan yang biasa muncul setelah kejadian mengejutkan. PBVSI langsung kirim dua psikolog ke hotel tim pada Senin pagi, gelar sesi relaksasi dan breathing exercise. Hasilnya, 80 persen pemain sudah lebih tenang Selasa pagi, tapi tetap diawasi ketat hingga final.
Dampak pada Persiapan Final
Keributan ini ubah suasana persiapan final secara drastis. Jakarta, yang seharusnya euforia lolos, malah latihan dalam suasana hening—fokus teknik, bukan selebrasi. Bandung, yang kalah, justru pakai momen ini untuk bangun mental: pelatih Samsul Jais gelar sesi motivasi “ubah amarah jadi energi”. Namun, larangan suporter tandang di final bikin pemain kehilangan motivasi ekstra—biasanya sorak sorai jadi bahan bakar. Farhan dan Doni, yang absen final, tetap ikut latihan untuk dukung rekan, tapi psikolog catat mereka masih rentan menyalahkan diri sendiri. PBVSI akhirnya putuskan semua pemain wajib ikut sesi psikologi wajib sebelum final, termasuk simulasi tekanan tribun kosong agar terbiasa.
Kesimpulan
Kerusuhan di semifinal voli nasional 2025 tinggalkan bekas mental yang tak terlihat tapi nyata bagi para pemain. Dari tangisan di ruang ganti hingga insomnia dan rasa bersalah, dampaknya terasa hingga menit-menit akhir persiapan final. Untungnya, respons cepat PBVSI dengan psikolog olahraga bantu redam trauma ringan ini. Bagi atlet muda yang baru naik level, kejadian ini jadi pelajaran keras: lapangan voli bisa sama menakutkannya dengan lapangan sepak bola jika emosi tak terkendali. Semoga final berjalan damai, pemain pulih total, dan voli Indonesia tetap jadi olahraga yang membanggakan—bukan menakutkan. Mental kuat sama pentingnya dengan fisik; semoga kejadian ini jadi yang terakhir.