Isu Politik Di Balik Seleksi Atlet Voli Putra. Seleksi atlet voli putra untuk tim nasional jelang AVC Cup dan kualifikasi dunia 2026 lagi ramai dibicarakan, tapi bukan karena performa, melainkan isu politik di belakangnya. Nama-nama besar seperti Farhan Halim, Boy Arnez, hingga Doni Rivan Nurmulki dikabarkan “dicoret” atau tak masuk radar pelatih hanya karena faktor non-teknis: afiliasi klub, kedekatan dengan pengurus, bahkan hubungan dengan sponsor tertentu. Federasi voli nasional dituding mainkan politik kursi dan kepentingan kelompok, sehingga talenta terbaik terancam tak terpakai. BERITA BOLA
Dominasi Klub Besar dalam Daftar Pemain: Isu Politik Di Balik Seleksi Atlet Voli Putra
Sebagian besar pemain yang dipanggil pemusatan latihan berasal dari tiga klub institusi negara: Jakarta Bhayangkara Presisi, Jakarta LavAni, dan Jakarta STIN BIN. Pemain dari klub swasta seperti Surabaya Samator atau Kudus Sukun Badak hampir tak ada yang masuk 20 besar. Banyak pengamat bilang ini bukan kebetulan, melainkan hasil lobi pengurus yang punya jabatan ganda di federasi sekaligus klub. Akibatnya, pemain berprestasi seperti Hendra Kurniawan atau Dimas Saputra yang tampil apik di Proliga justru tak dilirik karena “bukan orang dalam”.
Konflik Kepentingan Pengurus dan Pelatih: Isu Politik Di Balik Seleksi Atlet Voli Putra
Pelatih kepala timnas saat ini diketahakan punya hubungan dekat dengan manajemen salah satu klub institusi. Beberapa sumber internal bilang, daftar pemain yang diajukan selalu “disesuaikan” dengan keinginan pengurus tertentu agar klubnya tetap dominan di level nasional. Kasus serupa pernah terjadi di SEA Games sebelumnya, di mana pemain andalan klub swasta tiba-tiba diganti menit akhir dengan alasan “cedera ringan”. Politik ini makin terlihat saat rapat teknis seleksi yang seharusnya terbuka malah digelar tertutup, hanya dihadiri segelintir pengurus.
Dampak pada Prestasi dan Regenerasi Atlet
Akibat politik ini, timnas voli putra terancam kehilangan daya saing. Beberapa pemain senior yang sebenarnya sudah menurun performa tetap dipaksakan masuk skuad karena “punya backing”, sementara talenta muda potensial seperti Fahri Septian atau Jasen Kilanta tak dapat kesempatan. Regenerasi mandek, dan Indonesia berisiko kalah dari Thailand atau Iran yang seleksinya lebih transparan dan berbasis data. Volimania di media sosial sudah ramai protes, tagar #SeleksiTransparan bahkan sempat trending karena kecewa melihat politik lebih menentukan daripada spike dan blok.
Kesimpulan
Isu politik di balik seleksi atlet voli putra jadi bukti bahwa prestasi olahraga nasional masih sering dikorbankan demi kepentingan kelompok. Kalau federasi tak segera buka seleksi secara transparan, libatkan scout independen, dan pisahkan kepentingan klub dengan timnas, mimpi Indonesia jadi raja voli Asia bakal sulit terwujud. Atlet sudah berjuang mati-matian di lapangan, tapi kalau di belakang layar masih ada permainan politik, yang rugi bukan hanya pemain, tapi seluruh bangsa. Saatnya voli Indonesia dibersihkan dari politik kotor agar prestasi benar-benar lahir dari bakat, bukan dari koneksi.